Apa yang terjadi hari ini,
merupakan hasil dari usaha kemarin, apa yang terjadi besok, buah kerja kerja
keras hari ini. Begitulah pesan yang ditanamkan Papa dan Mama padaku. Batam, bukan kota impianku, pada kenyataannya di sanalah
tempat yang bisa mewujudkan impianku.
|
Puing2 yg tersisa waktu kebakaran |
Aku terlahir dari keluarga yang
sederhana. Tapi aku sangat bahagia
mempunyai orang tua dan saudara-saudara yang selalu menyayangiku. Aku merupakan
anak bungsu dari enam saudara. Semuanya terasa indah, hingga kondisi itu berubah saat kebakaran membumi
hanguskan rumah tempat kami berteduh.
Maret 1987, awal dari semuanya. Tak ada yang tersisa malam itu, dua rumah dan sepuluh pintu rumah kontrakan yang kami miliki habis terbakar. Hanya motor dinas Papa, satu tas
berisi ijazah dan surat-surat penting lain, TV berukuran 14 inch merk National yang dapat diselamatkan. Aku tak
mengerti apa-apa waktu itu, aku baru menginjak usia tiga tahun. Aku hanya ingat
berlari di tengah malam buta, bersama
nenek dan kakak tertuaku menuju rumah paman. Tak heran jika sampai saat ini aku trauma, mendengar
sirine mobil pemadam kebakaran.
Kami harus memulai kehidupan di rumah kontrakan.
Semuanya terasa aneh. Berdesak-desakan
tidur dipetak kecil yang ada di kolong
rumah orang. Namun Papa dan Mama selalu
menguatkan kami. “Tak ada yang abadi, semua yang kita punya kemarin hanyalah
sebuah titipan Allah SWT, roda kehidupan
pasti berputar, dan kita harus menjalaninya dengan ikhlas” demikian Papa menenangkan kami. Aku lagi-lagi tak paham,
kenapa Papa dan Mama bisa “menikmati”
tinggal di rumah sempit, yang hanya
mempunyai dua kamar untuk sembilan orang. Menganggap semuanya biasa. Saat musim
penghujan datang, air pasang meluap
membuat rumah kami seakan berada di tengah danau.
Hampir Enam tahun kami tinggal
dibawah kolong. Begitulah aku menyebutnya. Kami harus pindah saat ada program
pemerintah melakukan pelebaran anak sungai dan membuat dam di sisinya. Rumah
sewaan kami termasuk yang akan dieksekusi. Kembali Papa dan Mama sibuk mencari rumah kontrakan.
Ada perasaan gembira saat aku
tau kami akan pindah, tapi sedikit miris saat tahu rumah yang akan kami tempati
sudah lima tahun kosong, tidak ada orang yang betah berlama-lama tinggal di rumah itu. Sebenarnya
rumah itu luas, bahkan lebih dari yang kami butuhkan. Rumah itu terdiri dari empat kamar tidur, dua kamar mandi, ruang
tengah yang luas, ada ruang makan dan
dapur yang lumayan besar. Halaman luas baik halaman depan maupun halaman belakang.
Tapi kami lagi-lagi harus bersahabat
dengan banjir. Posisi rumah lebih rendah dari jalan. Tak heran, jika hujan satu jam saja bisa menghadiahkan
banjir menggenangi seisi rumah. Lagi-lagi aku merasa menempati rumah di tengah
danau.
Kehidupan kami terseok-seok
untuk kembali bangkit. Tapi masalah
pendidikan, Papa dan Mama sangat fokus memberikan yang terbaik bagiku dan lima saudaraku.
Kehidupan boleh saja susah, namun bukan berarti kami tidak bisa berprestasi. Begitu
yang selalu ditanamkan Papa dan Mama.
Selain kegiatan belajar di sekolah, sore hari kami di daftarkan di Majlis Ta’lim. Harus
seimbang untuk kehidupan dunia akhirat, itu yang Papa Mama tekankan.
|
saat ak ewin tampil di Langgar (Surau) |
Alhamdulillah, banyak hal yang
bisa kami dapat. Bukan hanya ilmu, kami juga memperoleh pengalaman. Di Majlis
Ta’lim, kami diajak ikut serta menyampaikan dakwah lewat tausiyah, lewat drama yang mengangkat tema kehidupan. Aku dan kakak kelima, lebih
fokus dilatih sebagai da’i cilik. Sementara
kakak ketiga dan keempat difokuskan pada drama. Sedangkan kakak pertama dan ke dua
dilatih mengenal organisasi dan cara bersosialisasi di lingkungan sekitar. Kami bisa keliling daerah menyampaikan syiar
islam, pengalaman yang tak bisa
dilukiskan lewat kata. Saat itu aku baru mengerti, kenapa Papa dan Mama selalu mengacuhkan rengekanku saat aku
malas mengaji, aku tetap dipaksa fokus melakukan kedua aktivitas itu. Diasah belajar
membagi waktu, agar tak mengeluh lelah
melakukan semua aktivitas.
|
with mama, mek (nenek)dan ak ewin,
Wisuda TPA, toga yg membuatku terus
bermimpi utk memakainya lg |
Terbiasa dengan aktivitas yang
padat dalam keseharianku. Saat kelas dua
SD, kuminta pada Papa dan Mama untuk belajar di Taman Pendidikan Alquran, ingin
mencoba sesuatu yang baru, begitulah alasan yang kuutarakan. Alhamdulillah,
Papa dan Mama mengabulkan. Mulai saat itu aku berjanji memberikan yang terbaik
bagi Papa dan Mama, begitupun saudaraku
yang lain, semuanya berpacu
dengan waktu. Aku tahu, hanya lewat prestasilah aku bisa membahagiakan Papa dan Mama.
Semua jerih payahku terbayar lunas, saat aku bisa memakai toga Wisuda I
TK/TPA. Bukan hanya itu, aku dan beberapa teman-teman berhasil maju mewakili
provinsi untuk ajang FASI (Festival Anak Shaleh) di Jakarta.
Akhirnya aku tahu alasan Papa
menyeimbangkan bekal pendidikan dunia dan akhirat. Papa tidak pandai mengaji,
dan Papa ingin kami bisa lebih baik darinya. Bukan masalah bagi Papa, untuk belajar
mengaji dari kami. Papa selalu bilang tidak pernah ada kata terlambat untuk
belajar. Belajar mengaji, Papa memilih metode hafalan. Dia meminta kami
membacakan untuknya, lalu diikuti setelahnya. Jika Papa telah hafal, tak segan Papa
meminta kami mengoreksi bacaannya. Semangat belajar Papa menjadi cambuk untukku
terus berprestasi. Meskipun aku bukanlah tipe kutu buku seperti teman-teman.
***
Terlahir sebagai anak tertua
dari keluarga sederhana di pesisir
Bengkulu Selatan, tidak membuat Papa
menyesali takdirnya. Semuanya Papa jalani dengan tulus. Setelah lulus Sekolah Rakyat (setara SD saat ini),
Papa memutuskan merantau ke Palembang. Kerasnya kehidupan yang Papa
alami membuat Papa tegar menatap masa depan. Papa yakin, Allah SWT tidak akan
memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya. Kesabaran Papa akhirnya berbuah hasil, Papa menemukan
cintanya di Palembang. 12 Januari 1968 Papa resmi meminang Mama. Walaupun
sebelumnya Papa mesti sabar melewati cobaan demi cobaan yang mendera. Selalu
ada hikmah di balik masalah, begitulah aku menyimpulkan.
|
Papa dan Mama, Anugerah Terindah yg
Tuhan hadiahkan untukku
|
Bukan hanya dalam hal belajar, Papa
keras terhadap kami. Dalam hal tanggung jawab, pun Papa menerapkan hal yang
sama. Pernah aku bertanya saat Papa menyuruh kakakku datang langsung ke
kantornya, mengurus tanda pencari kerja mengikuti prosedur yang ada. Kenapa Papa
tidak mau membantu kakak, padahal jika orang lain yang meminta pasti Papa membantunya. Papa hanya memberikan alasan, Papa tidak
ingin mempunyai anak yang manja, selalu memanfaatkan kedudukan orangtua. Tanpa mau mengikuti
prosedur yang ada. Papa selalu mengajarkan kami peka terhadap
lingkungan sekitar, di manapun kami berada. Mungkin saat itu sebuah misteri
bagiku, namun beberapa tahun kemudian, baru aku mengerti, kenapa Papa seperti
itu pada kami anak-anaknya.
Masa-masa indah tinggal di rumah, di tengah danau berakhir, Saat si pemilik rumah memutuskan menaikkan harga sewa dua kali lipat dari sebelumnya . Kami
hanya diberi waktu tiga bulan mengambil keputusan. Tetap lanjut atau tidak. Aku
pun tak habis pikir, kenapa pemilik
rumah tega berbuat seperti itu. Padahal sudah banyak perbaikan yang Papa
lakukan, agar rumah tersebut layak huni.
Setidaknya, kalaupun dia minta kenaikan, bukan berarti harus langsung
setinggi itu. Namun, mungkin inilah jalan
bagi kami untuk mengakhiri masa-masa menghuni rumah orang. Papa memutuskan
merenovasi rumah tipe dua satu yang beberapa tahun terakhir dicicil.
Berat
rasanya meninggalkan rumah di tengah
danau yang penuh kenangan. Kenangan bahagia, selama menempati rumah itu, secara
bergantian empat kakakku telah melangsungkan pernikahan, rumah itu jadi saksi.
Kenangan duka, saat aku kehilangan nenek
tercinta. Namun tak terlukiskan juga kebahagiaan saat mengingat kami mendapat hadiah terindah
dari Papa, rumah mungil pengganti setelah belasan tahun kami nanti. Tanpa
terasa waktu kami di rumah kontrakan hanya tinggal menghitung hari. Tepat
seminggu setelah hari raya Idul Fitri
tahun 1421Hijriyah tahun 2000 miladiyah, kami pindah ke rumah mungil kami. Ada
rahasia dibalik rahasia, begitulah takdir hidup yang kami jalani, semuanya
adalah misteri yang terkadang tak pernah kita bayangkan. Rumah kami kembali,
setelah empat belas tahun kami nanti.
Aku
selalu berusaha menepati janjiku untuk terus memberikan hasil terbaik bagi Papa
dan Mama. Namun aku dihadapkan pada satu ujian berat saat itu. Tepat seminggu
menjelang ujian akhir SMA, Papa mengajak bicara dari hati ke hati. Saat itu Papa
bertanya tentang rencanaku setelah lulus SMA. Tanpa beban, aku menjelaskan ingin melanjutkan kuliah ke PTN
favoritku. Ternyata semuanya tak seindah yang aku bayangkan, saat itu Papa
memberitahu tentang ke tidak mampuannya jika harus menanggung biaya kuliah tiga
anak sekaligus. Maklum saja, Papa dan Mama hanya mengandalkan gaji pensiun yang
tidak seberapa. Saat itu kakak keempatku berada di semester delapan, sedangkan
kakak kelima semester empat. Papa meminta pengertianku untuk bersabar. Jika
kakak keempat sudah lulus, aku pun akan mendapat kesempatan yang sama. Karena
tidak ingin melihat Papa bersedih, aku mengalah.
Bukan
hal yang mudah bagiku melewati hari demi hari setelah itu. Konsentrasi
belajarku buyar, pikiranku dipenuhi gejolak emosi seakan Papa pilih kasih. Detik
demi detik terakhir perjuangan belajarku dibangku SMA, kujalani dengan setengah
hati. Ingin rasanya aku berontak, namun aku tak sanggup. Aku pun tak bisa membohongi hati kecilku jika aku kecewa
terhadap keputusan Papa. Lama aku bergulat dengan pikiran sendiri. Aku menjadi
anak yang pemurung, lebih banyak mengurung diri, tak perduli lagi dengan hasil
yang aku raih. Melihat kondisiku yang kian hari kian terpuruk, ketiga kakak
tertuaku berusaha menenangkan. Mereka menyadarkanku bahwa semua yang aku
lakukan beberapa pekan terakhir keliru. Memang, di keluargaku, hanya kakak keempat dan kelima yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Sedangkan
ketiga kakakku yang lain memilih bekerja untuk membantu orang tua. Bukan karena
mereka tidak mau, namun karena mereka sadar akan kondisi ke dua orang tuaku,
tidak sepertiku saat itu.
Untuk
menghibur, kakak ke duaku memberikan kesempatan bagiku mengikuti seleksi penerimaan
mahasiswa baru pada PTN di kotaku. Namun
semuanya terlambat, konsentrasiku sudah tak seperti dulu, ketakutan demi
ketakutan terus menghantui. Percuma saja aku lulus jika tidak ada yang sanggup
membiayaiku, bisik batinku kala itu. Aku pun akhirnya memutuskan hengkang dari
kotaku. Tak sanggup rasanya aku bertemu dengan teman-teman, mendengar cerita
mereka tentang dunia baru di perguruan tinggi. Aku menghilang tanpa jejak,
Batam adalah pilihanku berlabuh.
September
2002 aku berangkat ke kota yang asing bagiku, tidak begitu mungkin, sebab aku
akan tinggal dengan kedua kakakku. Namun tetap saja semua terasa berbeda saat
aku harus berpisah dengan Papa dan Mama. Hanya Mama dan kakak ke lima yang
mengantar kepergianku ke pelabuhan. Papa tidak ikut karena alasan tidak enak
badan. Belakangan aku baru tahu,
ternyata Papa bukan tidak enak badan,
semuanya dilatari karena Papa tak sanggup melepas kepergianku. Papa merasa
gagal karena tidak bisa memenuhi permintaanku.
Satu
hal yang Papa tidak pernah tahu kala itu. Aku pergi bukan karena aku marah pada
Papa, karena Papa tidak bisa mewujudkan impianku. Saat itu aku selalu berjanji
dalam hati, suatu saat aku harus bisa mewujudkan impianku, kuliah dengan hasil
keringat sendiri.. Allah SWT mendengar doaku, memasuki tahun kedua aku bekerja,
aku bisa mewujudkan impian. Kerja sambil kuliah jadi pilihanku. Sebuah fase baru tentunya, bukan hal yang
mudah menjalani keduanya dalam waktu bersamaan. Tanpa bekerja, aku takkan bisa
membayari kuliahku. Jika aku tidak serius kuliah, bagaimana mungkin aku akan
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi di masa datang. Aku berusaha
mengatur waktu tanpa melupakan kewajiban melaksanakan tugas-tugasku. Mungkin
inilah hasil yang kudapat dari kerasnya didikan Papa semasa kecil. Aku bisa
membagi waktu, meski harus merelakan sebagian waktu istirahat untuk kuliah.
Lagi-lagi
semuanya tidak semulus yang aku bayangkan. Untuk menyelamatkan kuliah, aku
mesti berpindah pindah tempat kerja, karena tak semua manajemen tempat bekerja bisa
paham kondisiku. Aku tak bisa memungkiri jika aku tak bisa memilih salah satu
diantaranya. Bukan karena aku karyawan
pembangkang, namun aku memanfaatkan momen habis kontrak, untuk mencari tempat
kerja yang normal, tidak seperti yang aku jalani selama ini, bekerja selama 12
jam, dari jam tujuh ke jam tujuh. Tiga perusahaan jadi saksi masa-masa sulitku
selama enam semester di kampus ungu. Namun aku tak pernah menyesal, karena
semuanya bagian dari perjalanan hidupku.
Doa
Mama dan Papaku yakin menyertai. Aku bisa menuntaskan kuliah tepat waktu. Aku
sadar, uang bukanlah jawaban dari segalanya. Memang benar, uang bisa memenuhi
apa yang kita butuhkan, namun kasih
sayang dan doa dari kedua orang tua, takkan pernah sebanding dengan berapapun
jumlah uang yang kita miliki. Satu lagi pembelajaran yang aku dapat. Aku
bersyukur Allah SWT menghadiahkan Mama dan Papa yang begitu tulus menyayangiku.
Saat menjelang sidang tugas akhirku, Mama dan Papa puasa untuk mendoakanku.
Mereka menyemangatiku, mengingatkanku tak lupa berdoa agar diberikan ketenangan
menghadapi dosen-dosen pengujiku. Papa dan Mama pun berjanji, akan meluangkan
waktu spesial untukku di hari wisuda nanti. Meski pada kenyataannya mereka
tidak bisa menepati janji, karena Mama mesti dirawat di rumah sakit. Bukan hal
yang mudah bagiku untuk menerima kenyataan itu.
“Setiap
moment yang dialami, jadi proses pembelajaran
diri. setiap kenangan yang terukir, merupakan kisah terindah yang pernah
kualami. Sekecil apapun, setiap kejadian, pengalaman, dan kenangan takkan pernah bisa hilang dalam
sekejap mata. semua itu kan terpatri dalam bingkai kehidupan“.
Itulah yang menjadi motivasiku.
Semua yang terjadi adalah proses pembelajaran. “Daun yang jatuh tak pernah
membenci angin”. Begitulah kata yang aku kutip dari sebuah novel yang kubaca.
Keterpurukan bukan akhir dari segalanya. Tapi bisa dijadikan momentum untuk
bangkit menjadi pribadi yang lebih baik.
Aku bersyukur Papa dan Mama memberikan kepercayaan untuk merantau.
Kebebasan bersyarat, begitulah aku mendefinisikannya. Aku melewati fase demi
fase dalam kehidupanku untuk mengerti kehidupan yang aku jalani. Mungkin dulu
aku selalu bingung saat Papa mengajarkan beberapa hal. Namun sekarang aku bisa memahami maksud yang
tersirat dari kata demi kata yang dulu tak kumengerti.
Saat ini aku berada jauh dari Papa
dan Mama, aku selalu berdoa agar diberi
kesempatan membahagiakan, merawat Papa dan Mama. Semoga Allah SWT mengabulkan
pintaku. Syukur yang tak terkira, kebahagiaan yang tak bisa kulukiskan, aku
bangga mempunyai Papa dan Mama, anugrah terindah yang Allah SWT hadiahkan
untukku. Terima kasih Papa, terima kasih Mama untuk semua pembelajaran yang kuterima.
|
Perjuangan 3 tahun yang penuh pembelajaran |